Nasib 宿命
Nasib
宿命
Oleh: Buddha Hidup Liansheng Sheng-yen Lu
Sumber: Vihara Triratna
Ketika salah satu sahabat saya menikah, saya tidak menghadiri
pernikahannya. Seseorang lantas bertanya pada saya, "Sheng-yen Lu, Anda
tidak punya alasan untuk tidak menghadiri pernikahan sahabat Anda.
Lagipula ia adalah teman sekamar, rekan sekerja, teman sehobi, dan sobat
Anda. Lantas mengapa Anda tidak hadir?"
Saya hanya menjawab dengan satu kata, "Nasib!"
Banyak orang tidak mengerti alasan ketidakhadiran saya. Tiga tahun
kemudian teka-teki ini pun terjawab. Sahabat saya dan istrinya
bertengkar hebat karena masalah kecil. Akhirnya sahabat saya tidak tahan
lagi dan membunuh istrinya dengan pisau dapur. Sementara ia sendiri
juga bunuh diri. Sungguh tragis!
Kata "nasib" ini merujuk pada
orang yang mengerti nasib seperti saya ini mana berani memberi selamat
atas pernikahan mereka yang berarti memberi selamat pada mereka bahwa
mereka bertemu dengan musuh besar.
Pada suatu kali, atasan saya
dipromosikan. Ia menggelar pesta untuk merayakan kenaikan pangkatnya
dan semua orang menghadirinya. Hanya saya sendiri yang tidak hadir, saya
mencari alasan untuk tidak hadir.
Seseorang bertanya pada saya, "Mengapa di antara orang-orang yang memberi selamat hanya kurang Anda seorang?"
Saya juga hanya menjawab dengan satu kata, "Nasib!"
Tidak lebih dari beberapa tahun kemudian, terjadi kasus korupsi
besar-besaran. Banyak yang terlibat pada waktu itu. Jika atasan saya
tidak naik pangkat, sekarang ia akan baik-baik saja. Dengan kenaikan
pangkatnya, ia otomatis terlibat di dalamnya. Sekali dipenjara, habislah
semuanya.
Saya mana berani memberi selamat kepada atasan saya karena dengan kenaikan pangkatnya, ia justru dipenjara.
Pada suatu kali, seorang umat saya pada akhirnya melahirkan seorang
anak laki-laki setelah berturut-turut melahirkan lima orang anak
perempuan. Umat saya ini girang bukan main.
Umat saya ini
adalah keluarga berada. Pada hari di mana si bayi berusia genap sebulan,
ia menggelar sebuah pesta besar dan berulang kali mengundang saya
sebagai tamu kehormatan.
Saya tidak pergi dan tidak berani pergi.
Seseorang bertanya pada saya, "Pada hari yang berbahagia ini, para tamu
berdatangan memberikan selamat, mengapa hanya Anda seorang saja yang
tidak hadir?"
Saya menjawab, "Nasib!"
Belasan tahun
kemudian, si anak meminta uang pada orang tuanya untuk membeli sebuah
mobil balap mewah. Orang tuanya tidak setuju dan dianggap terlalu boros
yang mengakibatkan anak dan orang tua beradu mulut.
Akhirnya si
anak membantai kedua orang tuanya yang sedang tertidur pulas di atas
ranjang dengan sebilah golok. Lalu si anak menyerahkan diri kepada pihak
berwajib sambil membawa serta goloknya.
Belasan tahun yang
lalu, orang tuanya terus-menerus memohon kehadiran seorang putra,
akhirnya doa mereka terkabul dengan mendapatkan seorang putra dan mereka
sangat menyayangi putranya tersebut.
Satu saja permintaan dari anaknya tidak dituruti, ia justru tertimpa musibah yang tak terduga-duga, sayang sekali!
Mari kita berpikir sejenak. Bagaimana saya dapat memberi selamat
kepadanya atas kelahiran putranya sementara putranya ini adalah musuh
besar mereka!
Benar-benar NASIB! NASIB!
Pada suatu
kali, seorang umat yang dekat dengan saya membeli seunit rumah mewah.
Daun pintunya, dekorasinya, semuanya bermutu tinggi.
Pada hari
perpindahan, para tamu berdatangan memberikan selamat, bahkan gubernur
dan walikota pun hadir. Ia juga mengundang saya. Namun saya tidak hadir
dan tidak berani hadir.
Orang lain bertanya lagi pada saya, "Umat ini sangat percaya pada Anda, mengapa Anda tidak hadir?"
Saya menjawab, "Nasib."
Sekitar 4 tahun kemudian, sebuah kebakaran besar membakar habis rumah
mewah ini. Dari sepuluh orang anggota keluarga umat ini, setengahnya
tewas terbakar dan selebihnya berhasil meloloskan diri.
Saya
berkata pada orang lain, "Itu adalah rumah langganan Dewa Api, mana
berani saya memberikan selamat, bahkan di atas papan ucapan selamat pun
jangan tulis nama saya."
Seseorang pernah mengajukan pertanyaan
demikian pada saya, "Bila Anda mengetahui nasib seseorang, lantas
mengapa Anda tidak mencegahnya dengan mengatakan yang sebenarnya?"
Saya menjawab, "Bila saya mengatakan yang sebenarnya, berarti saya
mengusir kebahagiaan mereka. Dalam suasana berbahagia, sudikah mereka
mendengarkan saya? Apa daya saya bila mereka tidak percaya apa yang saya
katakan!"
Seseorang berkata lagi, "Bila Anda mengetahui nasib
seseorang, mengapa Anda juga sulit mengelak dari bencana Anda sendiri,
apalagi bencana Anda begitu banyak!"
Saya tersenyum kecut,
"Saya memang mengetahui nasib saya sendiri, namun, nasib sangat sulit
dielak. Sekarang saya dapat menyepi dan bertapa pun sudah merupakan
berkah yang luar biasa."
Siapa berani menyangkal manusia
mempunyai nasib? Bersadhanalah dengan sungguh-sungguh, sebab hanya
dengan bersadhana satu-satunya cara mengubah kemalangan menjadi
kemujuran.
Buku ke - 178 : Memandang Mega dari Gunung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar