Sabtu, 10 Desember 2011

Nasib 宿命

 
Nasib
宿命

Oleh: Buddha Hidup Liansheng Sheng-yen Lu
Sumber: Vihara Triratna

Ketika salah satu sahabat saya menikah, saya tidak menghadiri pernikahannya. Seseorang lantas bertanya pada saya, "Sheng-yen Lu, Anda tidak punya alasan untuk tidak menghadiri pernikahan sahabat Anda. Lagipula ia adalah teman sekamar, rekan sekerja, teman sehobi, dan sobat Anda. Lantas mengapa Anda tidak hadir?"

Saya hanya menjawab dengan satu kata, "Nasib!"

Banyak orang tidak mengerti alasan ketidakhadiran saya. Tiga tahun kemudian teka-teki ini pun terjawab. Sahabat saya dan istrinya bertengkar hebat karena masalah kecil. Akhirnya sahabat saya tidak tahan lagi dan membunuh istrinya dengan pisau dapur. Sementara ia sendiri juga bunuh diri. Sungguh tragis!

Kata "nasib" ini merujuk pada orang yang mengerti nasib seperti saya ini mana berani memberi selamat atas pernikahan mereka yang berarti memberi selamat pada mereka bahwa mereka bertemu dengan musuh besar.

Pada suatu kali, atasan saya dipromosikan. Ia menggelar pesta untuk merayakan kenaikan pangkatnya dan semua orang menghadirinya. Hanya saya sendiri yang tidak hadir, saya mencari alasan untuk tidak hadir.

Seseorang bertanya pada saya, "Mengapa di antara orang-orang yang memberi selamat hanya kurang Anda seorang?"

Saya juga hanya menjawab dengan satu kata, "Nasib!"

Tidak lebih dari beberapa tahun kemudian, terjadi kasus korupsi besar-besaran. Banyak yang terlibat pada waktu itu. Jika atasan saya tidak naik pangkat, sekarang ia akan baik-baik saja. Dengan kenaikan pangkatnya, ia otomatis terlibat di dalamnya. Sekali dipenjara, habislah semuanya.

Saya mana berani memberi selamat kepada atasan saya karena dengan kenaikan pangkatnya, ia justru dipenjara.

Pada suatu kali, seorang umat saya pada akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki setelah berturut-turut melahirkan lima orang anak perempuan. Umat saya ini girang bukan main.

Umat saya ini adalah keluarga berada. Pada hari di mana si bayi berusia genap sebulan, ia menggelar sebuah pesta besar dan berulang kali mengundang saya sebagai tamu kehormatan.

Saya tidak pergi dan tidak berani pergi.

Seseorang bertanya pada saya, "Pada hari yang berbahagia ini, para tamu berdatangan memberikan selamat, mengapa hanya Anda seorang saja yang tidak hadir?"

Saya menjawab, "Nasib!"

Belasan tahun kemudian, si anak meminta uang pada orang tuanya untuk membeli sebuah mobil balap mewah. Orang tuanya tidak setuju dan dianggap terlalu boros yang mengakibatkan anak dan orang tua beradu mulut.

Akhirnya si anak membantai kedua orang tuanya yang sedang tertidur pulas di atas ranjang dengan sebilah golok. Lalu si anak menyerahkan diri kepada pihak berwajib sambil membawa serta goloknya.

Belasan tahun yang lalu, orang tuanya terus-menerus memohon kehadiran seorang putra, akhirnya doa mereka terkabul dengan mendapatkan seorang putra dan mereka sangat menyayangi putranya tersebut.

Satu saja permintaan dari anaknya tidak dituruti, ia justru tertimpa musibah yang tak terduga-duga, sayang sekali!

Mari kita berpikir sejenak. Bagaimana saya dapat memberi selamat kepadanya atas kelahiran putranya sementara putranya ini adalah musuh besar mereka!

Benar-benar NASIB! NASIB!

Pada suatu kali, seorang umat yang dekat dengan saya membeli seunit rumah mewah. Daun pintunya, dekorasinya, semuanya bermutu tinggi.

Pada hari perpindahan, para tamu berdatangan memberikan selamat, bahkan gubernur dan walikota pun hadir. Ia juga mengundang saya. Namun saya tidak hadir dan tidak berani hadir.

Orang lain bertanya lagi pada saya, "Umat ini sangat percaya pada Anda, mengapa Anda tidak hadir?"

Saya menjawab, "Nasib."

Sekitar 4 tahun kemudian, sebuah kebakaran besar membakar habis rumah mewah ini. Dari sepuluh orang anggota keluarga umat ini, setengahnya tewas terbakar dan selebihnya berhasil meloloskan diri.

Saya berkata pada orang lain, "Itu adalah rumah langganan Dewa Api, mana berani saya memberikan selamat, bahkan di atas papan ucapan selamat pun jangan tulis nama saya."

Seseorang pernah mengajukan pertanyaan demikian pada saya, "Bila Anda mengetahui nasib seseorang, lantas mengapa Anda tidak mencegahnya dengan mengatakan yang sebenarnya?"

Saya menjawab, "Bila saya mengatakan yang sebenarnya, berarti saya mengusir kebahagiaan mereka. Dalam suasana berbahagia, sudikah mereka mendengarkan saya? Apa daya saya bila mereka tidak percaya apa yang saya katakan!"

Seseorang berkata lagi, "Bila Anda mengetahui nasib seseorang, mengapa Anda juga sulit mengelak dari bencana Anda sendiri, apalagi bencana Anda begitu banyak!"

Saya tersenyum kecut, "Saya memang mengetahui nasib saya sendiri, namun, nasib sangat sulit dielak. Sekarang saya dapat menyepi dan bertapa pun sudah merupakan berkah yang luar biasa."

Siapa berani menyangkal manusia mempunyai nasib? Bersadhanalah dengan sungguh-sungguh, sebab hanya dengan bersadhana satu-satunya cara mengubah kemalangan menjadi kemujuran.

Buku ke - 178 : Memandang Mega dari Gunung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar